Sistem Beli Putus Untungkan Petani Tebu
Pabrik Gula (PG) PT Rejoso Manis Indo (RMI) membeli tebu dari petani dengan Sistem Beli Putus (SBP). Banyak keuntungan yang bisa diraih petani dengan diterapkannya sistem ini.
Pertama, SBP di PG RMI lebih menjamin kepastian waktu pembayaran ke petani tebu. Petani tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan uang hasil penjualannya karena pembayaran dilakukan 2 kali dalam seminggu (3 hari sekali).
Dengan kecepatan dan ketepatan waktu pembayaran ini, petani bisa segera mengalokasikan dananya untuk berbagai hal, baik untuk membiayai kebutuhan rumah tangganya maupun untuk membiayai penanaman tebu selanjutnya.
Berbeda halnya jika pembelian tebu dilakukan dengan Sistem Bagi Hasil (SBH). Petani bisa mengalami kesulitan modal saat musim tanam lantaran hasil penjualan tebunya belum cair.
Dengan SBH, tak jarang petani baru menerima pembayaran setelah 6 bulan menunggu. Masalah ini muncul karena pembayaran dilakukan dengan sistem lelang gula, sehingga waktunya tidak pasti. Itulah sebabnya PT RMI, sebagai pabrik gula berbasis tebu rakyat, memilih tidak menggunakan cara ini. SBH juga banyak memberikan ruang pada masuknya pihak perantara yang memiliki modal besar guna membayar tunai tebu petani. Motivasi pihak perantara adalah marjin atau keuntungan antara harga tebu yang dibayarkan kepada petani dan uang yang kelak akan diterima dari pabrik gula. Konsekuensinya, petani bisa mendapatkan pembayaran tunai namun dengan harga yang lebih rendah demi marjin bagi perantara.
Kedua, dengan diterapkannya SBP, petani yang menjual tebu ke PG RMI tidak dikenai biaya karung. Tidak seperti sistem SBH yang membebankan biaya karung kepada petani.
Ketiga, dengan SBP, naik turunnya (fluktuasi) harga gula tidak berpengaruh pada harga pembelian tebu petani oleh PT RMI. Petani mendapatkan harga yang jelas, meski harga gula berubah.
Berbeda dengan SBH yang memberlakukan biaya pada petani atas fluktuasi harga gula yang terjadi, SBP di PG RMI tidak melibatkan petani sama sekali dalam hal ini. Fluktuasi harga gula, termasuk risiko turunnya harga gula, sepenuhnya ditanggung oleh PG RMI; sehingga ketika harga gula rendah, harga tebu petani tidak ikut merendah. Harga tebu petani tetap fixed sesuai kualitasnya.
Keempat, pemberlakuan SBP oleh PT RMI membuat petani tidak perlu menanggung inefisiensi pabrik. Dengan demikian, misalnya terjadi pembengkakan biaya produksi di pabrik, biaya itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pabrik, tidak dimasukkan sebagai komponen untuk mengurangi harga tebu. Begitu juga misalnya terjadi penurunan rendemen lantaran tebu yang sudah diserahkan petani ke pabrik tidak segera diolah, kerugian yang muncul tidak dibebankan kepada petani.
Penerapan SBP oleh PG RMI ini sejalan dengan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Nomor 593/TI.050/E/7/2019 tanggal 19 Juli 2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT). Regulasi ini diterbitkan untuk mendukung instruksi Presiden Joko Widodo yang meminta pemerintah melindungi para petani lokal.
Dalam mekanisme beli putus ini, Harga Pembelian Tebu Pekebun (HPP) ditetapkan berdasarkan kualitas tebu. Penetapan ini harus dilakukan secara transparan (petani bisa melihatnya langsung). Jika rendemennya 7 persen, harga tebu Rp 510 ribu per ton. Jika rendemennya lebih tinggi atau kurang dari 7 persen, harga tebu disesuaikan secara proporsional.
Waktu pembayaran juga diatur dalam regulasi ini. PG harus membayar kepada petani paling lambat tujuh hari setelah tebu diterima pabrik. *